Ruang UN nomor 23 di SMP Negeri 5 Makassar tampak ada yang berbeda. Duduk di pojok, berurut bangku paling belakang, 6 orang siswa dari Pulau Langkai dan Pulau Bone Tambu. Berbaur dengan teman baru mereka, siswa SMP Negeri 5 Makassar. Mereka tampak serius mengerjakan soal demi soal yang diujikan hari ini, Selasa (5 Mei). Raut wajah yang polos, tegas dibalut seragam sekolah yang setengah baru. Tak ada riasan yang mencolok. Bagaikan langit dan bumi jika dibandingkan dengan penampilan teman seruangannya yang telihat lebih stylish.
Menatap Masa Depan Di Bangku Belakang |
Bel tanda UN telah selesai, tak lama berdering. Tanpa rasa minder, siswa SMP dari pulau ini bergabung dengan sesama peserta UN yang tampak bergerombol di lapangan upacara. Ada penyampaian penting nampaknya dari Kepala Sekolah SMP Negeri 5 Makassar, Chaeruddin. Sejurus kemudian, para siswa pulau ini bergegas ke tempat tinggal sementara mereka. Ruang UKS SMP Negeri 5 Makassar.
Di ruang UKS berukuran sekira 4 x 12 m itulah, 6 orang siswa dari dua pulau berbeda ini harus menginap. Kedua sekolah asal mereka tak bisa menyelenggarakan UN secara mandiri. Menurut aturan, standar operasional menjadi penyelenggara UN minimal memiliki 20 siswa peserta. Praktis 4 siswa dari SMP 43 Pulau Langkai dan 2 siswa SMP 42 Pulau Bone Tambu mesti berafiliasi ke SMP Negeri 5 Makassar sebagai sekolah induk.
Sardiansyah, siswa SMP 42 Pulau Bone Timbu mewakili temannya mengaku percaya diri mengerjakan soal UN."Kami bersyukur sangat dibantu oleh pihak SMP Negeri 5 Makassar. Termasuk ditampung untuk sementara, sehingga kami bisa lebih fokus menghadapi UN kali ini," lirih siswa berkulit legam ini.
Seperti diketahui, kedua pulau ini hanya dapat diakses lewat jalur laut via Pelabuhan Paotere. Tarif menyeberang sekali dengan perahu penumpang berkisar 30 ribu rupiah. Bahkan jika BBM naik, tarifnya juga membubung tinggi. Kadang tarif sekali menyeberang hingga 50 ribu rupiah.
Saat cuaca bagus dan tinggi gelombang laut normal, pulau Langkai bisa ditempuh sekira 3 jam dengan perahu motor. Namun jangan coba jika cuaca buruk, perjalanan bisa molor hingga 5 jam, bahkan bisa berakibat fatal perahu terbalik dan berujung kematian jika cuaca seketika menjadi ekstrim.
Karena persoalan tersebut, Kepsek SMP Negeri 5 Makassar Chaeruddin Hakim mengambil inisiatif untuk "menginapkan" para siswa pulau ini di sekolahnya."Secara teknis, jarak yang mereka tempuh ke sini memakan waktu cukup lama. Hal itu berpotensi mengakibatkan mereka bisa terlambat mengikuti UN. Sehingga atas dasar kemanusiaan, pihak kami memberikan mereka solusi. Dan Kepala Sekolah mereka menyetujui. Ruang UKS yang cukup nyaman, dilengkapi sejumlah tempat tidur, WC dan pendingin ruangan cukup representatif untuk sementara," ungkap pria alumni IKIP Makassar ini.
Haerul Ningsa |
Meskipun harus menjalani UN di sekolah lain, Kepsek SMP 43 Pulau Langkai, Muh Idris Yusuf tetap optimis anak didiknya, Haerul Ningsa, Mayang, Nur Asia dan Nur Faidah bisa menyelesaikan soal UN tahun ini dengan baik."Kami yakin anak didik kami mampu mengerjakan tiap soal UN dengan mudah meski sekolah kami secara sarana dan prasarana kalah bersaing dengan sekolah yang di daratan Makassar," ungkap guru asli Bima ini.
Fasilitas pendidikan yang memadai memang menjadi barang langka di pulau Langkai dan pulau Bone Tambu. Tenaga pengajar di SMP 43 pulau Langkai misalnya, juga mengajar di SD pulau tersebut."Ada sekitar 158 murid SD di pulau Langkai dan 28 siswa SMP yang mesti kami perhatikan. Karena kurangnya tenaga pendidikan sehingga guru SMP juga mengajar di SD," jelas Kepsek SMP 43 Langkai, Muh. Idris Yusuf.
Tak berbeda jauh nasibnya, Kepsek SMP 42 pulau Bone Tambu, Wahidin mengungkapkan gedung sekolahnya yang saat ini tidak bisa digunakan. "Siswa SMP kami saat ini menumpang belajar di gedung SD setempat. Kami takut menempati ruang kelas karena terkena abrasi sehingga cukup dikhawatirkan akan rubuh," jelas pria asal Bulukumba ini.
Selain transportasi dan fasilitas pendidikan, persoalan mendasar lain soal elektrifikasi. "Penduduk pulau Bone Tambu sekira 110 KK mengandalkan suplai listrik dari genset yang dikelola secara swadaya. Biayanya 3000 rupiah per titik lampu. Ditambah lagi harga sembako yang cukup mahal membuat biaya hidup sangat tinggi," lirih Akhmadi, guru honorer asal Pinrang. Akhmadi sendiri sudah 3 tahun menetap dan mengabdikan diri sebagai pengajar bahasa Inggris. Akhmadi mendampingi para siswa pulau sejak hari pertama pelaksanaan UN.
Sedikit agak lebih baik dibanding pulau tetangga, sejumlah wilayah pulau Langkai sudah mendapat bantuan listrik tenaga surya (solar cell). Pulau Langkai sendiri dihuni sekira 300 KK.
Sungguh ironis nasib para para penduduk kedua pulau jika dibandingkan dengan saudaranya di seberang. Saudaranya di Makassar daratan kini menikmati buah pembangunan dan kemajuan zaman. Dari IBU-kota Makassar yang terus bersolek, mewujudkan mimpinya menjadi Kota Dunia. Namun sayang, IBU-kota melupakan anaknya di seberang laut.
0 comments:
Post a Comment