Saat itu menjelang siang,
matahari mulai terik di sekitaran fly over
jalan Urip Sumiharjo. Di keramaian lalu lintas kendaraan yang lalu
lalang tampak seorang wanita tua sibuk menjajakan koran. Umurnya kira-kira 60-an
tahun. Tiap kali lampu merah menyala, dengan gesit wanita tua itu menawarkan
korannya.
“Pak ! Bu ! Koran ! Koran ! 3500 rupiah saja ! “. Wanita itu
menawarkan dengan ramah.
Tak terlihat sedikitpun rasa
kecewa meski berulangkali ditolak calon pembeli. Saya kemudian tertarik untuk
mengenal wanita hebat ini lebih jauh. Setelah memperkenalkan diri dengan ramah,
saya mengajak wanita tua nan ramah ini mencari tempat ngadem untuk berbincang. Sambil
meneguk sebotol minuman dingin, dia mulai berkisah.
Nenek Dadi, Si Penjaja Koran |
Dadi, demikian nama lengkapnya.
Semenjak kepergian mendiang suaminya sepuluh tahun silam, wanita tangguh ini harus
berjuang menafkahi keluarganya. Selain seorang cucu, nenek Dadi harus
menghidupi 5 orang keluarga dekatnya yang ikut menumpang tinggal bersamanya.
Tak banyak keterampilan lain yang bisa diandalkan selain tenaganya yang mulai
renta. Nenek Dadi hanya sempat mengenyam pendidikan formal hingga kelas 2 SD.
“ Awalnya saya sempat berdagang sayur keliling sekitar rumah memakai
gerobak pinjaman tetangga. Tapi tak lama usahaku gulung tikar, Nak ! Modal
habis karena banyak tetangga yang ngutang, ambil sayur jualan duluan. Katanya
nanti belakangan dibayar tapi buktinya hingga sekarang gak dibayar,” keluh
nenek Dadi yang mengaku berasal dari Limbung, Gowa.
Kondisi ekonominya semakin sulit
saat anak tunggalnya memilih merantau ke Ambon beberapa tahun lalu. Padahal
menurut nenek Dadi, anak semata wayangnya itu cukup membantu menopang ekonomi
keluarga karena saat itu sempat bekerja jadi tukang bentor. Namun nenek Dadi
tidak boleh berpangku tangan. Berkat bantuan salah satu tetangganya yang baik
hati, Nenek Dadi diajak menjadi penjaja koran di lampu merah fly over.
Pekerjaan yang kini menjadi pengharapan hidup Nenek Dadi sehari-hari. Demi
tuntutan perut, jawaban klise yang meluncur dari mulut sang Nenek.
“Hasil menjajakan koran tak banyak memang. Maksimal saya hanya bisa
dapat 30 ribu rupiah per hari. Untuk ukuran hidup zaman sekarang memang tak
seberapa tapi setidaknya asap dapur saya tetap ngebul. Terlebih saya tidak mau
menghinakan diri dengan menjadi peminta-minta,Nak !, “ terang Nenek Dadi
dengan suara sedikit bergetar.
Demi sesuap nasi, terik matahari tak dihiraukan |
Tak lama, nenek Dadi minta pamit
kembali berjualan. Setumpuk koran di tangannya mesti laku terjual demi sesuap
nasi. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada wanita hebat ini untuk waktunya. Walau tulang badan mulai membungkuk tapi semangat untuk berjuang
“mengharap rupiah” begitu luar biasa. Betul kata nenek Dadi, tak ada guna
meratapi nasib. Tak ada faedah jika hanya berpangku tangan.. dan menunggu uluran tangan.
Saya kagum dengan semangatmu, Nek !.
saya cuma mau bilang, blog ini tampilannya simple tapi isinya berbobot jika sudi silakan berkunjung http://ahmadelc.blogspot.com
ReplyDelete