Masa kecil dulu boleh dibilang
masa yang paling saya nikmati, penuh memori. Ya, seperti masa kecil kalianlah
pada umumnya yang sebagian besar waktunya tersita di luar rumah. Penuh keceriaan..bermain tali, enggrang,
gasing, dan sederet permainan tradisional yang menyehatkan karena membutuhkan
banyak gerak dan kerjasama. Dan salah satu permainan favorit masa kecilku..
kala itu, main gundu atau kelereng.
Jangan ditanya lagi seberapa ahli
saya dalam bermain kelereng. Kelereng lawan yang berjarak hingga 3 meterpun
mampu saya bidik dan kena dengan tepat sasaran. Tak terhitung lagi berapa
toples kelereng yang saya kumpulkan, hasil jerih payah dan kerja keras di dunia
pergunduan..eh
Nahh.. apa hubungannya kelereng
dengan kumandang azan ? Dicari-caripun memang tak ada hubungannya.
Sumber :randasar.com |
Tapi bagi saya dan kakak
laki-lakiku (sebut saja namanya Wawan) itu punya kaitan erat dan malah bisa menimbulkan
masalah besar. Perlu kalian tahu, kami tergolong keluarga besar dan dididik penuh
disiplin. Ayahku, salah satu tokoh agama dan tokoh masyarakat yang cukup
disegani di kampung kami. Sejak kecil kami dididik dengan penuh disiplin, dan
Ayahku cukup tegas dalam banyak hal termasuk soal ajaran agama. Ketika suara adzan berkumandang,
Ayah pasti segera mencari kami. Tak ada toleransi jika terlambat sholat
berjamaah di mesjid. Berani melanggar, kalian akan dapati deretan garis
merah di sekeliling betis kami. Bekas pukulan sebilah kayu atau hantaman sapu
lidi yang sudah disiapkan di balik pintu rumah.
Tak kenal waktu dan tempat, kaki kecil
kami sudah biasa menerima hukuman "seberat" itu. Di depan khalayak umum, di
pesta pernikahan, bahkan pernah sepanjang jalan dari halaman sekolah sampai ke
rumah (jarak sekitar 100 meter), kaki
kami tak henti dihujani pukulan kayu. Lupa jadwal ngaji, ya gegara asyik
main gundu. Bisa kalian bayangkan puluhan bahkan ratusan pasang mata warga menyaksikan kami
dihukum sepanjang jalan, seperti kawanan pencuri ayam yang ketangkap dan diarak
keliling kampung. Sakit di kaki tak lagi terasa karena malu yang tak
tertanggung.
Kembali soal kelereng..
Pulang sekolah, kadang tak sempat
mengganti seragam SD. Bahkan masih bersenjatakan tas butut, yang nampak hanya nyangkut di punggung. Karena salah satu talinya sudah putus dan
tali yang lain direkatkan dengan bantuan sebuah peniti. Tak kenal tempat. Di lapangan sekolah,
kolong rumah warga, halaman mesjid hingga di pinggir jalan jadi arena permainan
gundu. Kami singgah sekedar memuaskan dahaga bermain kelereng. Parahnya jika
memenangkan satu kali putaran game, saya dan kakakku, Wawan jadi ketagihan main. Akibatnya lupa waktu hingga
terkadang menghiraukan alarm alami. Kumandang
suara azan. Ujung-ujungnya ya kena hukuman.
Waktu itu saya ingat persis, kami asyik-asyik aja bermain gundu di halaman mesjid sehabis pulang sekolah. Lumayan beruntung hari itu, kami menang dan kumpulkan banyak kelereng teman yang kalah. Selang beberapa jam, demi mendengar suara adzan pertanda masuk waktunya sholat Ashar. Saya bergegas kembali ke rumah. Tak lupa saya peringatkan kakakku untuk segera balik
ke rumah, tapi peringatanku tak digubrisnya. Mungkin karena saya masih kecil dan paling takut jika dihukum lagi, terpaksa saya tinggalkan saja kakakku yang serius membidik kelereng lawan, Benar saja, sesampai di kolong
rumah saya dengar teriakan Ayah memanggil-manggil nama kami, horror. Saya menelan ludah karena takut
yang menjalar, dengan mengendap-endap saya perlahan menaiki satu per satu anak
tangga di pintu belakang rumah. Tujuan saya, kamar mandi dekat dapur.. NGAMBIL
AIR WUDHU..itu pasti dan tidak boleh telat semenitpun, jika gagal maka buyarlah
rencana penyelamatan diri. Dan….
Tepat saat saya memutar kran air.
Terdengar langkah kaki cepat dan berat mendekat.
Eh, kau darimana ? Dari tadi dipanggil gak nyahut ?,” sebuah
hardikan yang saya kenal baik pemilik suaranya, Ayah. Beliau muncul di balik
pintu kamar mandi.
Saya gak dengar, Pak ! Dari tadi di sini, mau wudhu! Kan mau ke mesjid
! ,” tukasku dengan cepat. Ayah cuma diam mendengar jawabanku, datar tak
ada ekspresi.
Alhamdulillah, selamat ! ,” ujarku
membatin.
Saya tengah bersiap menuju
mesjid, mematut-matutkan diri di cermin saat terdengar derap langkah kaki Ayahku
menuruni tangga rumah. Beliau memang selalu mengusahakan tiba di mesjid pada awal
waktu sholat. Tapi tunggu dulu.................celaka, kakakku masih di sana. Masih asyik
bermain dengan kelerengnya, tepat di halaman mesjid. Saya tak tahu lagi
bagaimana nanti nasibnya. Sulit ku bayangkan..
0 comments:
Post a Comment