Jam Dinding : Detik Kenangan

Ting.. !! Tiing.. !! Tingg.. !!

Bunyi jam dinding yang berdenting terdengar harmonis mengalun memecah kesunyian malam.
Dentingannya ibarat musik pengantar tidurku beberapa malam terakhir ini..

Pikiranku masih menerawang, mencoba menyibak rentetan memori masa lalu yang terus membayangiku belakangan ini.
Ku pandangi seluruh bagian kamarku, tak banyak yang berubah. Cat putihnya masih kokoh menempel kuat ke dinding tembok, meski di beberapa bagian terlihat ada yang sedikit terkelupas. Di pojok kamar, deretan buku koleksiku sejak duduk di bangku SMP masih tersusun rapi di rak usang. Di sampingnya, sebuah meja belajar hadiah dari Ayah saat naik ke kelas 2 SMA masih berdiri setia. Dan perabotan terakhir selain tempatku merebahkan diri ini ya hanya sebuah lemari kayu tua yang cerminnya sudah tidak utuh. Ya, setelah sekian tahun melanglang buana akhirnya di lebaran tahun ini aku bisa mudik ke kampung halaman tercinta. 

Ya..3 tahun lebih sudah selepas lulus di SMA, saya tinggalkan kampung halaman tercinta melanjutkan kuliah ke kota gudeg, Yogyakarta. Tahun 2010, saya keterima di jurusan hukum Universitas Gadjah Mada. Dan khusus sebelum maju ujian tutup bulan depan, saya memang berencana "sowan" dengan kedua orangtua untuk menambah semangat apalagi bertepatan dengan Idul Fitri.

Hawa dingin khas pegunungan Enrekang terasa menusuk sampai ke tulang rusuk. Dengan cepat ku bungkus badanku dengan selimut tebal yang diletakkan Ibu tadi dekat kakiku. Ya, mencoba beradaptasi lagi dengan suasana kampung sejuk ini.

Mmm..meski tempat indekostku di daerah Kaliurang sana tergolong dingin dan sejuk tapi kalah jauh dibanding disini, tiga selimutpun kayaknya tidak cukup. Brrrrr..!!



Ya, 2 hari lalu tepatnya..tidak sengaja saya berpapasan dengan dengan salah satu kepingan mozaik kenangan indah masa silamku. Pertemuan singkat dengan sosok ayu nan lembut yang pernah menerangi kedalaman hatiku.
Sore itu.......

Saya sedang mencari ta'jil (makanan untuk berbuka puasa) menyusuri jalanan di emperan lods Pasar Sudu yang penuh dengan sesak penjual dan pembeli. Maklumlah, waktu berbuka puasa kurang dari sejam lagi. Suasana jadi riuh-ramai dengan proses transaksi tawar-menawar. Saya pun berhenti di salah satu stand penjual yang menjajakan beberapa penganan favoritku, jalangkote dan risoles.

"Sipirai mesa te jalangkote ta?1," tanyaku ke si penjual.
"Si sangsa'bu mesa!2," jawab penjualnya.
"Apa te risoles ?3,"
"Sangsabu to'. Pira ra benki ?4," tanya si penjualnya lagi dengan ramah.
"Benna si limangsa'bunna. Sola es buahta dua.5

Saat tengah menunggu pesanan, saya memandang sekitar Pasar. Ya, ada sedikit perubahan..sekarang Pasar Sudu terlihat lebih modern, bersih dan terawat meski di beberapa titik terlihat tumpukan sampah yang sepertinya belum diangkut petugas kebersihannya.

Mataku kemudian tertuju ke stand penjual sebelah. Tumpukan kelapa muda utuh tampak menggunung. Seorang gadis muda berjilbab tengah memilah-milah kelapa muda yang akan dibelinya. Ku perhatikan dengan seksama, sepertinya saya familiar dengan wajahnya meski cuma terlihat dari samping.

"Hai,,de' Zaza, ya ?," sapaku dengan sopan.
"Eh, kak Opick. Kapanki datang ?," sahutnya dengan cepat. Terlihat wajahnya yang ayu jadi merona merah karena tampak kaget dan tersipu malu.
"Udah 3 harimi saya di kampung. Wah..apa kabarnya ? Tambah cantikki saya liat,de'!," jawabku sedikit gombal.
"Ah, kakak gombal saja tapi alhamdulillah kalau memang begitu pale!," ucapnya dengan guratan senyum indah sambil tertunduk malu.
"Oh,ya..maaf. Saya duluan kak. Saya buru-buru soalnya di rumah ada acara buka bersama. Atau  datangki ke rumah sebentar,kak ! Masih ta ingatji rumah toh ?" pungkasnya sambil berlalu dari hadapanku.
"Kapan-kapanpi de'. Salam saja sama keluarga!

Ting.. !! Tiing.. !! Tingg.. !!

Bunyi jam dinding yang berdenting terdengar harmonis mengalun memecah kesunyian malam.
Dentingannya ibarat musik pengantar tidurku beberapa malam terakhir ini.

Aina Talita Zahran, nama lengkapnya.
Pertemuan sore itu memang cukup singkat tapi itu sudah cukup membuatku kembali ke masa silam. Zaza, demikian nama panggilan spesialku untuknya. Saya akrab semenjak kami sama-sama gabung di sebuah ekskul di bangku SMA dulu. Waktu itu, saya duduk di kelas 3 dan tengah mempersiapkan diri menuju Ujian Nasional sementara Zaza berstatus siswi kelas 1, mungkin sekarang kelas X istilahnya.
Dari info teman, saya tahu kalau sekarang Zaza tengah kuliah semester 3 di fakultas kedokteran sebuah universitas swasta ternama di Makassar. Namanya memang cukup sulit untuk saya delete dari memory otakku. Terlalu banyak file-file kenangan bersamanya, kalau perlu file-file itu saya back-up di salah satu folder terbaik di otakku.

Empat tahun silam, Zaza lah yang selalu memberiku motivasi untuk melanjutkan studi di pulau Jawa. Bahkan dengan semangat, mencarikan info beasiswa sampai mengontak sepupunya yang kerja di daerah Bantul untuk mencarikanku rumah kost-an yang murah. Maklumlah saya bukan dari golongan keluarga mampu, beda dengan Zaza yang boleh dikatakan berasal dari keluarga yang lebih dari berkecukupan.

Tapi saat tengah memulai hidup sebagai mahasiswa di kota Gudeg itu entah kenapa komunikasi kami mulai renggang. Entahlah, saya saat itu berfikir positif saja mungkin Zaza fokus belajar demi impian besarnya kelak.
Ya, impian besarnya jadi dokter spesialis kandungan. Impian besarnya yang pernah kami tulis bersama, terukir di sebuah dahan pohon ketapang yang tumbuh lebat di belakang SMA kami dulu.

Ting.. !! Tiing.. !! Tingg.. !!

Bunyi jam dinding yang berdenting terdengar harmonis mengalun memecah kesunyian malam.
Dentingannya ibarat musik pengantar tidurku beberapa malam terakhir ini.

Semoga Zaza masih ingat dan semoga saja..semoga..
Semoga suatu saat bisa bertemu dengannya di suasana yang  penuh cinta untuk melabuhkan rindu yang kembali bersemayam.

Ku tarik selimutku, mencoba perbaiki posisi tidur berharap mataku segera terpenjam

Sementara hawa dingin khas pegunungan Enrekang semakin menusuk. 


                                   ----------------------Taufik Hasyim-----------------------

NB:

Terjemahan bahasa Duri (Bahasa yang digunakan sebagian besar penduduk Enrekang yang bermukim di kecamatan-kecamatan yang berdekatan dengan Tana Toraja)

1. "Berapa harga jalangkotenya sebiji?"
2. "Seribu /pcs"
3. "Kalau risoles berapa harganya ?"
4. "Seribu juga. Mau beli berapa?"
5. "Saya beli masing-masing 5 ribu rupiah. Sekalian es buahnya dua porsi"
SHARE

Taufik Hasyim

A Moslem Single | Beginner Blogger | Youth of Massenrempulu | Sahabat NOAH | Journalist of FAJAR Newspaper | Football Holic | Juventini | Facebook: Taufik Hasyim | Twitter: @DaengOpick | email: opickjie@gmail.com

  • Facebook
  • Twitter
  • GooglePlus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment