Pindah kontrakan lagi !
Entah untuk kesekian kalinya,
saya harus kembali memboyong barang-barang seisi rumah ke kontrakan baru.
Ibarat tradisi Idul Fitri, tiap tahun saya “gemar” berpindah habitat. Mungkin
di fikiran kalian saya se”genre” dengan mahasiswa yang sering nunggak bayar listrik sehingga ibu kost beri ultimatum hingga
kesekian kalinya untuk angkat kaki ? Nggak, saya bukan golongan mahasiswa setega itu. Bukan apa-apa, saya memang bertipe nomaden..gak
kerasan tinggal berlama-lama di suatu tempat. Setidaknya dengan berpindah, saya
bisa mengenal lebih jauh tiap sudut kota yang indah ini.
Dibantu beberapa warga (kebetulan
saya memang mudah bergaul), satu per satu lemari , meja dan barang-barang yang
saya anggap masih berharga diangkut perlahan ke kontrakan yang baru. Tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Pak
RT dan warga dari tempat lama yang jauh-jauh mengantar saya saat pamitan.
Yeahh..kontrakan baru !,” sorakku dalam hati.
Kontrakan baru ini cukup luas ada
4 blok kamar, dengan ruang tamu dan parkiran yang cukup luas. Lokasinya di sebuah
kompleks perumahan kelas menengah, di lorong 23 tepatnya. Kondisinya sangat
lumayan untuk ukuran mahasiswa tingkat akhir sepertiku. Saya memutuskan mencari
kontrakan yang dekat dengan kampus, ya apalagi sudah memasuki masa deadline
untuk bertahan di kampus..hiikks ! Butuh tempat yang kondusif untuk mencapai
target.
Kuliahku memang boleh dibilang
agak terhambat jika dibandingkan dengan teman seangkatanku yang mayoritas sudah
meraih gelar sarjana dan malah beberapa di antara mereka sudah menjadi
abdi negara. Saya menyalahkan diriku yang terlalu aktif berlembaga, menjadi
aktivis di luar kampus bahkan namaku sempat tenar saat memimpin aksi membongkar
kasus penipuan seorang pengusaha distributor pupuk ternama yang merugikan
banyak petani. Saya memang sudah mulai lupa wajah pengusaha laknat tersebut tapi
saya ingat persis namanya, Ir. Sentot Sunaryoto.
Srrrppp ! Ahhh !! Kuteguk segelas kopi hitam manis buatan tangan
sendiri di sore yang romantis. Rehat sejenak di sebuah kursi yang terletak di pojok beranda depan rumah
pasca berjuang mengatur letak barang-barang dalam rumah.
Capek juga ! ,”ujarku dalam hati.
Dari balik kisi-kisi pagar besi pembatas rumah,
pandanganku sejenak menyapu sudut-sudut sepanjang lorong depan rumah. Seorang
pria yang sudah terlihat cukup berumur, kira-kira
berusia 50-an tahun tampak berdiri dibawah rindangnya pohon mangga. Beliau
melempar senyum ke arahku. Saya pun membalasnya seketika, mencoba bersikap
ramah sebagai pendatang baru yang mesti lihai beradaptasi.
Atau jangan sampai Beliau ketua RT disini, wah bisa berabe karena saya
belum sempat melapor sebagai warganya yang baru!,”ujarku membatin
Saya beranjak bangkit, berjalan membuka
pagar.
Mari, Pak! Ngopi bareng!,” coba basa-basi ke Bapak tadi.
Rifki, Pak! Saya baru pindah ke sini !,” ujarku mencoba membuka
pembicaraan sambil pasang senyum pemikat.
Oh,,iya,dik ! Saya tinggal di kompleks ini juga, lorong tujuh. Saban
sore saya memang suka jalan-jalan keliling kompleks. Ya..menikmati usia
senja..! ,” jelas Bapak tersebut sambil menjabat hangat tanganku. Tak lupa saya suguhkan secangkir kopi nikmat sebagai jamuan penghangat awal perjumpaan.
Sejak itu, hampir tiap sore Bapak
tersebut berkunjung. Katanya selalu kangen dengan kopi buatanku yang katanya senikmat
kopi buatan mendiang istrinya. Saban sore pula, saya selalu larut dalam ceritanya
yang tidak pernah lelah berkisah soal naik-turun kehidupannya. Nah, menariknya,
Beliau tidak pernah mau menyebutkan namanya. Beliau pandai menyembunyikan
identitas.
Nama untuk apa sih ? Toh, tiap hari kita tetap bertemu. Tidak penting,
kan ? Saya yakin kamu menutup pagarmu rapat-rapat, saat tahu siapa aku ,” kilahnya
acapkali saya menanyakan identitasnya.
Ya, sudah ! Saya nyerah. Saya sebut
saja beliau dengan Pria Saban Sore .
Pria Saban Sore ini tak bosan
bercerita soal kehidupan pribadinya. Tak sungkan, Beliau menceritakan peristiwa
kematian istrinya beberapa tahun lalu, cerita tentang anak semata wayangnya yang
sekarang tinggal di luar negeri. Bahkan tentang kesuksesannya memulai usaha
dari nol. Lucunya, entah itu kisah berunsur komedi, bahagia, hingga kisah yang
mengundang derai airmata, tetap saja ekspresi Pria Saban Sore datar dan selalu diakhiri
dengan tawa cekikikan.
Seperti beberapa sore lalu, Pria
Saban Sore berkisah.
Saya dulunya pengusaha besar di daerah sini, dik ! Saya punya gudang besar untuk
stok pupuk berkapasitas 500 ribu ton per
tahun. Lokasinya di samping Pertamina seberang pintu gerbang kompleks. Saya ini
satu-satunya distributor resmi dari PT. PUPUK SELTIM yang ternama itu.,” Pria
Saban Sore mulai bercerita, datar.
Saya mendengar ceritanya
sekenanya saja sambil sesekali menghirup kopi hitam kesukaan, menghargai orang yang lebih tua istilahnya.
Karena tetap saja, mata dan tanganku sebenarnya lebih fokus menatap layar laptop dan merangkai
kata menyelesaikan skripsi.
Pria Saban Sore tersebut melanjutkan
kisahnya.
Bahkan saat peresmian pembangunan gudang besar kedua, pak Menteri
Pertanian kala itu menyempatkan hadir menandatangani prasasti peresmian. Bahkan
tak lama, saya diundang ke kantor menteri tersebut untuk menerima penghargaan
karena dianggap membantu mensukseskan swasembada pertanian. Saya memang saat
itu memberi kemudahan kepada petani untuk mendapatkan pupuk kami, bahkan
pembayarannya bisa dengan sistem dicicil,” kenang Pria Saban Sore sambil tertawa
cekikikan.
Sumber : pixabay.com |
Sore ini pasca bimbingan di
kampus, saya lanjutkan mengerjakan skripsi, memperbaiki
sih tepatnya. Saya bersiap menunggu kedatangan Pria Saban Sore. Beberapa
kali saya menoleh ke ujung lorong 23 , tapi batang hidung Pria Saban Sore tak
nongol jua. Saya mulai cemas, maklum 3 edisi sore terakhir Pria Saban Sore tak
pernah lagi berkunjung ke sini. Cukup sepi juga terasa, karena setiap
penghujung senja saya sudah terbiasa selalu ditemani beragam cerita Pria Saban
Sore.
Akh..kenapa saya tidak pernah menanyakan dengan detail dimana rumah Pria
Saban Sore itu !,” gerutuku dalam hati.
Untuk membunuh rasa penasaran,
saya memutuskan mencari tahu kabar Pria Saban Sore. Pun meski saya belum
terlalu hapal seluk beluk urutan penomoran lorong kompleks yang memang tak
beraturan. Saya teringat, di awal pertemuan Pria Saban Sore pernah bercerita
kalau Beliau tinggal di lorong tujuh.
Mungkin lorong 7 dekat-dekat dengan
pintu gerbang utama kompleks kali ya,” saya mencoba berkesimpulan.
Benar saja, lorong 7 tak jauh dari
gerbang utama. Satpam kompleks dengan ramah mengantar saya ke mulut lorong itu meski
sempat bingung dan tak tahu siapa Pria Saban Sore padahal saya sudah mendeskripsikan
bagaimana perawakan dan gaya bicara Pria Saban Sore dengan begitu detail.
Setelah bertanya sana-sini, saya diarahkan ke sebuah rumah yang cukup besar dan
terlihat paling menonjol dengan desain rumah yang terlihat cukup menawan namun
terkesan tak terawat.
Pagarnya sedikit terbuka. Saya
pun masuk ke halaman dan mengetuk-ngetuk pintu depan beberapa kali. Tak ada
jawaban, sepi. Kembali saya mengetuk-ngetuk pintu rumah agak keras. Tetap tak
ada jawaban, senyap.
Mungkin penghuni rumahnya lagi keluar ya,” tebakku.
Besok sore kan bisa saya datang lagi,”ujarku menghibur diri.
Esok harinya, saya mendengar
kabar Pria Saban Sore masuk rumah sakit (lagi) dari tetangga. Dari cerita
tetangga depan rumah pula terkuak jika Pria Saban Sore ternyata selama ini
mengidap neurosis (sakit jiwa
ringan). Mental Pria Saban Sore sejak dua tahun lalu terganggu, akibat musibah
yang tak henti mengujinya. Musibah pertama kala usaha distribusi pupuknya yang
dimulai dari nol terpaksa ditutup aparat kepolisian, pupuk urea miliknya dianggap
merugikan dan menipu banyak petani. Saat dilakukan penggeledahan di gudang
miliknya, pupuk tersebut ditengarai dicampur dengan batu bata merah. Meski
desas-desus di tengah warga sekitar kompleks yakin Pria Saban Sore hanya korban
permainan bisnis, Beliau dijebak oleh teman bisnisnya sendiri. Pria Saban Sore
memang dikenal baik dan berjiwa sosial di kalangan warga kompleks.
Saya menyimak tanpa curiga.
Saya menyimak tanpa curiga.
“Selang berapa lama saat kasus penutupan usahanya, istri Pak Toto jatuh
sakit dan akhirnya meninggal dunia karena serangan jantung. Pun tak berjarak bulan, anak
semata wayangnya kabur ke luar negeri membawa uang simpanan terakhir hasil
usahanya,” kenang tetangga depan rumah menutup kisah.
“Oh, Pak Toto namanya,”ujarku dalam hati.
Saya kemudian janjian dengan
tetangga depan rumah untuk menjenguk pak Toto keesokan harinya di rumah sakit. Yah,
saya merasa cukup berdosa juga karena selama ini tidak mau tahu dan tak pernah sedikitpun
tertarik untuk sekedar merespon setiap alur cerita Pria Saban Sore tersebut.
Setelah mampir membeli satu
parcel berisi buah-buahan di sebuah toko depan kompleks. Bersama tetangga depan
rumah, saya bergegas menuju rumah sakit. Alangkah terkejutnya, saat saya
menatap name tag pasien di pintu
masuk ruangan pak Toto dirawat. Disitu tertulis jelas Ir. Sentot Sunaryoto
Ternyata..Beliau pengusaha itu..
Ternyata..Beliau itu..
Pria Saban Sore yang setia menemani senjaku di habitat baru.
(Tak sadar, bulir airmata menetes di pojok mataku)
Ternyata..Beliau itu..
Pria Saban Sore yang setia menemani senjaku di habitat baru.
(Tak sadar, bulir airmata menetes di pojok mataku)
0 comments:
Post a Comment